LIVING HADIS DALAM TRADISI MAMBATU-BATU PADA ACARA TAHLILAN MASYARAKAT MANDAR SULAWESI BARAT (Tinjauan Maqashid al-Syari’ah)
LIVING HADIS DALAM TRADISI MAMBATU-BATU PADA ACARA TAHLILAN MASYARAKAT MANDAR SULAWESI BARAT (Tinjauan Maqashid al-Syari’ah)
No Thumbnail Available
Date
2023-04-28
Authors
Muhammad Nasir
Muhammad Mawardi Djalaluddin
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Repository STAIN Majene
Abstract
Penelitian ini berjudul Living hadis dalam tradisi mambatu-batu pada acara tahlilan
masyarakat Mandar Sulawesi Barat, tinjauan maqashid al-syari’ah. Tujuan dari penelitian
ini yaitu untuk mengetahui bagaimana petunjuk hadis yang terkait dengan acara tahlilan
atau doa selamatan bagi orang yang sudah meninggal dunia dan hakekat maqâsid al-
syari’ah dalam ritual mambatu-batu pada acara tahlilan yang dipraktekkan oleh
masyarakat Mandar. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode analisis konten yaitu menarik kesimpulan dengan mengidentifikasi karakteristik
pesan atau konsep yang terdapat dalam data. Penelitian ini juga menggunakan pendekatan
Teologis, historis, dan pendekatan Sosial. Hasil penelitian ini ditemukan bahwa Nabi saw.
pernah meletakkan batu kerikil di atas kubur anaknya Ibrahim. Kualitas hadis riwayat
imam Syafi’ ini di nilai hasan karena ada beberapa riwayat lain yang menguatkannya.
Sementara hadis tentang tahlil sebanyak 70 ribu kali, penulis belum menemukan sanad
yang lengkap sehingga Ibn Hajar menilai hadis tersebut sebagai hadis yang belum ada
asalnya. Namun, praktek tahlil sebanyak 70 ribu kali banyak dipraktekkan oleh ulama-
ulama salaf. Abu Hurairah dan Sa’ad bin Abi Waqqash yang disebutkan dalam riwayat
hadis adalah sahabat Nabi yang berzikir dengan menggunakan batu kerikil untuk
menghitung jumlah zikirnya. Namun, kualitas hadis tersebut di nilai dhaif. Kalau merujuk
kepada pendapat muhadditsin bahwa boleh saja mengamalkan hadis dhaif dalam hal
fadhilah amal, maka pada dasarnya bertahlil dengan menggunakan batu kerikil hukumnya
boleh. Sejarah ritual mambatu-batu yang dilakukan oleh masyarakat Mandar khususnya di
kabupaten Majene dan Polewali Mandar, diperkirakan mulai dilakukan antara tahun 1930-
an. Pada awalnya seorang ulama yang bernama KH. Nuhung (1906-1947 M) menemukan
riwayat dalam kitab fath al-mubarak tentang bertahlil dengan menggunakan batu kerikil
sebanyak 7777. Muatan maqasid al-Shari’ dalam budaya mambatu-batu di dua Kabupaten
provinsi Sulawesi Barat berada pada peringkat tahsiniyat, tepatnya pada memelihara akal
yaitu menghindari kesalahan dalam menghitung bilangan batu-batu kerikil sebanyak 70
ribu disaat acara tahlilan seseorang yang meninggal dunia. Tahlilan dilaksanakan secara
berjamaah adalah sebagai turunan dari memelihara diri dan batu-batu tahlilan di pusara
orang yang diacarakan itu adalah juga turunan dari memelihara agama yang berada pada
peringkat tahsiniyat