STUDY KOMPARATIF STATUS HUKUM PERNIKAHAN PENYANDANG TUNAGRAHITA (CACAT MENTAL) PERSPEKTIF IMAM SYAFI’I DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NOMOR 1 TAHUN 1974

No Thumbnail Available
Date
2025-03-03
Authors
NURMADINAH. H
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Repository STAIN Majene
Abstract
ABSTRAK Nama : Nurmadinah. H NIM : 20156120017 Program Studi : Hukum Keluarga Islam Judul : Study Komparatif Status Hukum Pernikahan Penyandang Tunagrahita (Cacat Mental) Perspektif Imam Syafi’i dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Penelitian ini membahas tentang status hukum pernikahan penyandang tunagrahita perspektif Imam Syafi’i dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Yang di mana calon mempelai laki-laki dan perempuan harus mengetahui hak dan kewajibannya sebagai seorang istri dan seorang suami dalam membina rumah tangga agar terjalinnya keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak semua manusia terlahir dalam keadaan yang normal, salah satunya yaitu adanya gangguan keterhambatan mental yang dalam hal ini diistilahkan dengan tunagrahita. Tentunya dalam pernikahan penyandang tunagrahita harus diketahui bagaimana status dari pernikahan tersebut serta bagaimana hak dan kewajibannya bisa tercapai. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian kualitatif yang di mana sumber data diperoleh dari kepustakaan (Library Research), dengan menggunakan pendekatan teologi normatif (syar’i) dan pendekatan yuridis. Adapun yang menjadi rumusan masalah yaitu : 1. Apa landasan Imam Syafi’i dalam menetapkan status hukum pernikahan penyandang tunagrahita?. 2. Bagaimana perbandingan antara perspektif Imam Syafi’i dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenai status hukum pernikahan penyandang tunagrahita. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum berlandaskan pada al-Qur’an, Hadist, Sunnah, Ijma dan Qiyas dalam memutuskan sesuatu. Dalam hal ini pandangan Imam Syafi’i dalam terjemahan kitab al-Umm bahwa setiap akad yang dilakukan oleh penyandang tunagrahita harus melalui persetujuan dan izin wali. Sedangkan perbandingannya dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenai status hukum dari penyandang tunagrahita tidak dijelaskan secara spesifik sehingga bisa dikatakan bahwa pernikahan penyandang tunagrahita sah, dengan tetap memenuhi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka implikasi dari penelitian yaitu, pernikahan bagi seorang penyandang tunagrahita, sebelum wali memberikan izin untuk melangsungkan pernikahan wali harus mengenal terlebih dahulu kondisi yang dialami oleh penyandang tunagrahita serta mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan dan dampak yang akan terjadi dalam rumah tangga ke depannya. Selain itu untuk memperjelas dan menghindari diskriminasi dari status pernikahan penyandang tunagrahita maka pemerintah hendaknya mengatur lebih jelas kedudukan dari pernikahan penyandang tunagrahita.
Description
Keywords
Citation