Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Praktik Jual Beli Kelapa dengan Cara Kammungan Lima di Desa Sinabatta Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah
Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Praktik Jual Beli Kelapa dengan Cara Kammungan Lima di Desa Sinabatta Kecamatan Topoyo Kabupaten Mamuju Tengah
No Thumbnail Available
Date
2025-09-25
Authors
Muh. Nasrul
Journal Title
Journal ISSN
Volume Title
Publisher
Repository STAIN Majene
Abstract
Nama : Muh. Nasrul
NIM 20256121088
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah
Judul :Tinjauan Hukum Ekonomi Syariah Terhadap Praktik Jual Beli
Kelapa dengan Cara Kammungan Lima di Desa Sinabatta Kecamatan Topoyo
Kabupaten Mamuju Tengah
Penelitian ini membahas praktik jual beli kelapa dengan sistem
Kammungan Lima (kepalan tangan) yang masih digunakan oleh masyarakat Desa
Sinabatta, Kecamatan Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah. Sistem ini digunakan
sebagai satuan ukur dalam menentukan jumlah kelapa tanpa menggunakan
timbangan. Bagi masyarakat, metode ini dianggap lebih praktis dan efisien untuk
mempercepat proses transaksi, terutama ketika kelapa harussegera dijual agartidak
mengalami penurunan mutu. Namun, di balik kepraktisannya, praktik ini
menyimpan persoalan serius karena ukuran yang digunakan tidak memiliki standar
pasti dan harga sering kali ditentukan sepihak oleh pedagang. Kondisi ini
menimbulkan ketimpangan dalam transaksi, di mana posisi petani menjadi lebih
lemah dan rentan mengalami kerugian secara ekonomi.
Dari sudut pandang Hukum Ekonomi Syariah, praktik ini dianalisis
berdasarkan prinsip-prinsip dasar seperti keadilan (al-‘adalah), amanah,
kebebasan bertransaksi (al-hurriyah), dan kejelasan akad dalam jual beli (akad
bai’). Hasil analisis menunjukkan bahwa praktik Kammungan Lima masih dapat
dibenarkan selama terpenuhi unsur-unsur seperti kerelaan kedua belah pihak,
kejujuran, dan kejelasan objek transaksi. Namun, praktik ini juga berisiko
menimbulkan unsur gharar (ketidakjelasan) yang dapat membuka peluang
terjadinya kecurangan, serta menimbulkan kerugian sepihak, terutama bagi petani
sebagai pihak yang lebih lemah secara posisi tawar.
Temuan lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat tetap
mempertahankan sistem ini karena telah menjadi kebiasaan turun-temurun dan
dianggap sebagai bagian dari kearifan lokal. Selain itu, tidak tersedianya alat ukur
standar dan minimnya edukasi mengenai transaksi syariah yang adil turut menjadi
faktor penguat praktik ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan dengan
mendorong hadirnya standar takaran dan transparansi harga agar sistem jual beli
yang dijalankan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah. Peran pemerintah desa, tokoh agama, dan lembaga keuangan
syariah sangat penting dalam mengedukasi masyarakat dan memperkenalkan
model transaksi yang lebih etis dan berkeadilan.
Selain dari sisi syariah, aspek sosial dan ekonomi masyarakat juga perlu
diperhatikan agar perubahan sistem tidak menimbulkan penolakan. Pendekatan
persuasif dan partisipatif menjadi kunci keberhasilan dalam memperbaiki praktik
ini. Harapannya, masyarakat tidak hanya mengikuti perubahan secara teknis, tetapi
juga memahami nilai-nilai keadilan dalam transaksi sesuai syariat Islam